Little girl #1
Pagi ini ia mengenakan gaun yang indah menari di tepi jalan, berlarian sambil bernyanyi. Hidupnya indah. Ia memiliki banyak kawan bermain sepeda berlarian, bermain petak umpat, dan melompat. Hidupnya indah. Ia hanya ungin bermain menghabiskan semua waktunya hanya untuk bersenang-senang, melakukan hobinya, menari.
Hingga tiba ia menangis hanya untuk sebuah mainan, bukan mainan atau pengertian yang ia dapat. Ia melihat sebuah sandal memukulnya, dijejalkannya sandal itu dalam mulutnya. Tentu itu tidak membuatnya berhenti menangis. Itu membuatnya ingat bahwa ia tak layak untuk mendapatkan mainan apa-pun. Hal itu terulang dalam hidupnya beberapa kali. Tak hanya itu ia pun mendengar lengkingan amarah yang seharusnya tidak ia dengar di usianya yang masih begitu rapuh.
Ia mulai masuk sekolah. Untuk pertama kalinya ia keluar dari dunia. Mengenal hal baru yang luar biasa akan ia dapatkan. Tidak ternyata ia salah. Ia keliru. Ia di tinggalkan di sekolah yang begitu luas, sendirian. Ia menangis, terus menangis. Tiba-tiba seseorang datang memeluknya erat, tapi aneh mengapa ia sebaik ini depannya banyak orang mengapa tidak dipukulnya gadis itu karena nakal dan menangis.
Ini semua tidak membuat gadis itu patah semangat, ia tetap tersenyum. Ya, dia kuat sekuat baja yang akan terus menerjang angin topan. Ia tak pandai dalam berhitung bahkan ia tak bisa membaca, menulis pun sulit ia lalukan. Hanya bermain dan menari yang ia inginkan hanya itu. Ia hanya suka pada binatang, mengelusnya hingga merawatnya sampai kuat, sekuat dirinya.
Malam itu malam yang suram baginya, entah mengapa rasa takut selalu menyelimutinya. Suara lengkingan itu datang lagi. Menyodorkan sebuah buku yang ia sendiri tak mengerti apa isinya bahkan ia belum bisa baca. Ia tak mengerti. Yang ia lakukan hanya mengikuti apa yang suara itu perintahkan. Sampai ia salah membaca dan tak mengerti, ia menangis. Tapi suara itu tak mau membiarkannya untuk berhenti ia harus terus menyelesaikannya. Sampai akhirnya buku itu terbang ke arah mukanya. Lalu ia menghapus air matanya dan melanjutkannya. Malam berikutnya ia harus lalui seperti itu. Tapi ia tak mau jadi anak nakal lagi ia tak ingin menangis lagi tak ingin sesuatu terjadi padanya. Ia takut.
Bagaimana mungkin ia mendapat pujian di sekolah karena pintar membaca. Dan seseorang membanggakan ia tanpa menceritakan apa yang terjadi semalam. Ini sungguh mustahil. Untungnya gadis itu tak harus memalui malam yang kelam lagi.
Hingga tiba ia menangis hanya untuk sebuah mainan, bukan mainan atau pengertian yang ia dapat. Ia melihat sebuah sandal memukulnya, dijejalkannya sandal itu dalam mulutnya. Tentu itu tidak membuatnya berhenti menangis. Itu membuatnya ingat bahwa ia tak layak untuk mendapatkan mainan apa-pun. Hal itu terulang dalam hidupnya beberapa kali. Tak hanya itu ia pun mendengar lengkingan amarah yang seharusnya tidak ia dengar di usianya yang masih begitu rapuh.
Ia mulai masuk sekolah. Untuk pertama kalinya ia keluar dari dunia. Mengenal hal baru yang luar biasa akan ia dapatkan. Tidak ternyata ia salah. Ia keliru. Ia di tinggalkan di sekolah yang begitu luas, sendirian. Ia menangis, terus menangis. Tiba-tiba seseorang datang memeluknya erat, tapi aneh mengapa ia sebaik ini depannya banyak orang mengapa tidak dipukulnya gadis itu karena nakal dan menangis.
Ini semua tidak membuat gadis itu patah semangat, ia tetap tersenyum. Ya, dia kuat sekuat baja yang akan terus menerjang angin topan. Ia tak pandai dalam berhitung bahkan ia tak bisa membaca, menulis pun sulit ia lalukan. Hanya bermain dan menari yang ia inginkan hanya itu. Ia hanya suka pada binatang, mengelusnya hingga merawatnya sampai kuat, sekuat dirinya.
Malam itu malam yang suram baginya, entah mengapa rasa takut selalu menyelimutinya. Suara lengkingan itu datang lagi. Menyodorkan sebuah buku yang ia sendiri tak mengerti apa isinya bahkan ia belum bisa baca. Ia tak mengerti. Yang ia lakukan hanya mengikuti apa yang suara itu perintahkan. Sampai ia salah membaca dan tak mengerti, ia menangis. Tapi suara itu tak mau membiarkannya untuk berhenti ia harus terus menyelesaikannya. Sampai akhirnya buku itu terbang ke arah mukanya. Lalu ia menghapus air matanya dan melanjutkannya. Malam berikutnya ia harus lalui seperti itu. Tapi ia tak mau jadi anak nakal lagi ia tak ingin menangis lagi tak ingin sesuatu terjadi padanya. Ia takut.
Bagaimana mungkin ia mendapat pujian di sekolah karena pintar membaca. Dan seseorang membanggakan ia tanpa menceritakan apa yang terjadi semalam. Ini sungguh mustahil. Untungnya gadis itu tak harus memalui malam yang kelam lagi.
Komentar
Posting Komentar